Universitas Airlangga

Selasa, 08 Agustus 2017

Daging Sapi

Produk daging sapi lokal tercatat belum bisa mencukupi kebutuhan nasional. Hingga saat ini, kebutuhan akan sumber protein hewani tersebut masih didukung oleh produk impor. Tentu saja, kondisi ini cukup memprihatinkan. Terlebih secara faktual, sumber daya alam nusantara sejatinya sanggup untuk memberi suasana maupun nutrisi yang baik untuk pengembangbiakkan sapi.
Di sisi lain, fenomena tersebut membangkitkan semangat anak bangsa untuk bercita-cita menjadi produsen sapi unggul. Baik secara kulitas, maupun secara kuantitas. Indonesia harus bisa menjadi produsen sapi yang mampu menjadi penyedia kebutuhan nasional. Bahkan, menjadi pengekspor daging sapi. Dengan demikian, harga sapi di dalam negeri tidak lagi mahal, dan ketersediannya pun tidak lagi langka.

Bertolak dari kondisi dan semangat di atas, Prof. Dr. I Komang Wiarsa Sardjana drh., melakukan sejumlah penelitian. Harapannya, penelitian itu menjadi penopang atau pendukung cita-cita swasembada daging sapi. Setelah melalui banyak telaah akademik, dia sampai pada satu perspektif. Yakni, salah satu cara agar Indonesia bisa sukses menjadi produsen daging yang unggul adalah pengetahuan tentang kebuntingan sapi sejak dini. Maksudnya, semakin cepat sapi diketahui bunting atau tidak, semakin baik bagi upaya pengembangbiakkan sapi tersebut.

Umumnya, mayoritas peternak sapi di Indonesia masih memiliki pola pikir konvensional. Setelah sapi dikawinkan, baik melalui perkawinan alami ataupun ensiminasi buatan, mereka akan menunggu berbulan-bulan untuk mengetahui kepastian kondisi kebuntingan melalui kasat mata fisik betina. Bahkan, ada yang menunggu hingga sembilan bulan sepuluh hari! Karena, masa kehamilan sapi memang di rentang itu, sama seperti manusia. Kalau selama sembilan sepuluh hari tidak melahirkan, berarti perkawinan yang dulu itu gagal. Lantas, baru dikawinkan lagi.

“Tapi ini kan membuang waktu. Coba kalau sejak sedini mungkin sudah diketahui betina itu hamil atau tidak, tindakan lanjutan bisa segera diambil. Tidak usah menunggu sampai sembilan bulan” papar dia.

Berawal dari pemahaman itu, Komang mulai berpikir cara mengetahui kebuntingan sejak dini. Dia pun terinspirasi dengan adanya paperstrip tes kehamilan pada manusia. Bersama rekannya dari Fakultas Kedokteran, dia melakukan penelitian panjang tentang pembuatan paperstrip tes kebuntingan khusus bagi sapi. Yang kemudian dikenal dengan sebutan: Progesteron Paperstrip. Tentu saja, dari segi teknis ada sejumlah perbedaan dengan paperstrip yang dikhususkan bagi manusia.
Paperstrip pada manusia, dicelupkan pada urine. Nah, pada sapi perah, paperstrip diceupkan pada air susu. Sedangkan pada sapi pedaging, dicelupkan pada darah yang diambil dari ekor atau leher. “Pengetesan pada sapi dilaksanakan setelah 21 hari dari momen perkawinan,” kata dia.

Bila diketahui sapi belum hamil, perkawinan bisa segera dilaksanakan ulang. Tidak perlu menunggu sampai berbulan-bulan. Sedangkan jika sapi tersebut ternyata memang hamil, nutrisi yang diberikan pada betina tersebut harus terus mendapat perhatian. Dengan demikian, janinnya kuat dan sehat sampai masa melahirkan.

Salah satu problem nasional dari pola pengembangbiakkan sapi adalah pola pikir yang masih tradisional. Yang tidak memperkenankan teknologi menyentuh upaya peternakan. Atau bisa jadi, terdapat kebuntuan atau ketidakmerataan informasi dan teknologi. Maka itu, perlu peran aktif pemerintah untuk memecahkan persoalan ini.

Bila pemerintah serius ingin menyelesaikn persoalan ketersediaan daging sapi, eksekutif wajib melakukan pemerataan teknologi di bidang peternakan sapi. Lantas, memberikan informasi tentang manfaat dan peranannya dalam kesuksesan beternak. Paling tidak, penggunaan teknologi sederhana yang digagas Komang, dengan tujuan mengetahui kondisi kebuntingan sapi sejak dini.
Sebab, ada banyak manfaat turunan yang diperoleh bila peternak sukses mengaplikasikan ide tersebut di lapangan. Yang jelas, pekerjaan yang mereka lakukan bakal lebih efektif dan efisien. Sentuhan modernisasi merupakan suatu keniscayaan, bila bangsa ini ingin memiliki industri daging sapi semaju Australia, Selandia Baru, atau negara Eropa lainnya. Sejauh ini, problem terlampau lamanya selang kelahiran dan kecilnya peluang kebutingan adalah persoalan fundamental para peternak. Terlebih, bagi mereka yang selama ini melaksanakan kerjanya secara tradisional.

Bangsa Indonesia pasti ingin mandiri di segala bidang. termasuk, di ranah peternakan. Di era erba canggih seperti sekarang ini, penggunaan teknologi sudah tidak dapat diabaikan. Semua pihak mesti sadar akan hal ini. sementara pemerintah, harus giat untuk menerapkan optimalisasi teknologi di segala lini kehidupan masyarakat. Khususnya, di aspek-aspek yang menyangkut dengan pergerakan roda ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan sosial. “Sebagai akademisi, saya siap melakukan riset aplikatif. Salah satu yang sudah saya hasilkan, inovasi Progesteron Paper Strip ini,” papar Komang.

source : http://news.unair.ac.id/2017/07/01/gagas-progesteron-paper-strip-demi-swasembada-daging/



Daftar Fakultas di Universitas Airlangga :
  1. Fakultas Kedokteran
  2. Fakultas Kedokteran Gigi
  3. Fakultas Ekonomi dan Bisnis
  4. Fakultas Hukum
  5. Fakultas Psikologi
  6. Fakultas Farmasi
  7. Fakultas Ilmu Budaya
  8. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
  9. Fakultas Kesehatan Masyarakat
  10. Fakultas Sains dan Teknologi
  11. Fakultas Perikanan dan Kelautan
  12. Fakultas Kedokteran Hewan
  13. Fakultas Keperawatan
  14. Fakultas Vokasi
  15. Sekolah Pasca Sarjana

Cari juga bahan risetmu di sini
 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar